Selasa, 04 Oktober 2011

ABG Ini Suka Makan Tanah dan Ubin



Sri Wahyuni (13), anak kedua pasangan suami istri Kayat dan Sumeh warga RT 18, RW 03, Dusun Bungarum, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, memiliki kebiasaan aneh.

Gadis yang semestinya duduk di bangku SMP ini, suka makan tanah dan ubin yang ada di sekitarnya. Kendati demikian, dia tak menunjukkan gejala-gejala sakit akibat makan benda yang tak layak dikonsumsi itu.

Menurut ibunya, Ny Sumeh kebiasaan buruk anaknya terjadi sejak usianya tujuh tahun. Awalnya dilakukan saat Sri berada di rumah sendirian. Namun, lama kelamaan Sri tak takut makan tanah atau ubin di depan banyak orang. Bahkan, rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu, lantainya yang disemen, terdapat belasan lubang, karena dimakan oleh Sri.

Biasanya Sri mulai mencongkeli lantai rumahnya untuk dimakan saat dia ditinggal pergi oleh orangtuanya untuk mencari rumput yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Kebiasaan Sri makan tanah seperti halnya orang normal makan nasi.

"Kalau makan tanahnya tidak sedikit-sedikit. Lumayan banyak karena cara makannya sama ketika anak minta makan nasi," terang Sumeh kepada Surya.

Lebih jauh Sumeh yang kini sudah menjanda ini, menjelaskan, anak keduanya itu awalnya sehat seperti anak-anak lainnya. Namun, sejak kena panas tinggi ketika masih berusia dua tahun, anaknya yang dulu bisa memanggil bapak dan ibu, mendadak tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Namun demikian, dia masih bisa memahami setiap pembicaraan orang.

Seiring dengan hal itu, kebiasaan buruk makan tanah muncul. "Maunya, saya menghentikan anak saya makan tanah. Tetapi, apa boleh buat, saya tak bisa karena tak memiliki cukup biaya," terang ibu yang bekerja sebagai buruh gembala kambing ini.

Kehidupan Sumeh memang sangat sederhana. Di rumah berdinding anyaman bambu yang penuh lubang, perempuan ini hidup bersama anak pertamanya Panji (21), dan Sri Wahyuni (13). Panji putus sekolah kelas empat SD. Setiap hari, Sumeh dan Panji selalu mencari rumput di hutan sebagai nafkah.

"Kerjanya hanya ke hutan, kadang menanam kacang-kacangan, kadang merumput untuk memberi makan tujuh kambing milik orang di belakang rumah," tuturnya.

Sumeh mengaku sudah ada yang menawari membantu mengobatkan Sri ke RSU Dr Soetomo Surabaya, namun dia keberatan. Alasannya, dia tak memiliki biaya untuk hidup selama perawatan anaknya di rumah sakit. Selain itu, dia juga kebingungan jika harus di rumah sakit, karena selama ini dia lebih mengenal hutan daripada kota.

Peta Kehidupan

Bayangkan anda saat berada di tengah samudera di atas sebuah speedboat. Lima puluh kilometer di depan anda adalah sebuah pulau, dan di pulau itu terdapat semua yang anda inginkan dan cita-citakan. Semua impian anda. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu semua adalah sampai ke pulau tersebut. Pulau itu ada di belakang cakrawala. Tapi cakrawala yang mana?
Masalahnya adalah anda tidak punya kompas, peta, radio, telepon, dan anda tidak tahu mana arah ke pulau tersebut.
Arah yang salah akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian, sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit. Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian. Tetapi bila anda salah arah, anda bisa kehabisan bahan bakar sebelum bisa mencapai pulau impian.
Hidup tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti kegunaan hidup anda, adalah sama dengan dilema pulau impian. Semua impian anda sebenarnya bisa tercapai, namun untuk mencapainya anda harus mengetahui apa, di mana, dan bagaimana mencapainya.
Anda mutlak mengetahui arah untuk mencapainya, dan untuk itu anda memerlukan peta. Tentukan peta anda sekarang, untuk dapat mencapai impian anda. Buat seteliti dan seakurat mungkin, dan selanjutnya anda tinggal mengarahkan speedboat ke pulau impian anda

belajar dari filosofi jagung

Suatu ketika, seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik buah jagungnya, yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena ia  selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga  di sekitar perkebunannya.
“Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?” tanya sang wartawan.
“Tak tahukah anda?,” jawab petani itu.
“Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula.”
Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula.
Sungguh…nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang disentuhnya.

lempar Dadu_mu

Ular-Tangga, permainan semasa kita kecil, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.
Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama kuliah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap  orang harus mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan. Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur. Dan disitulah nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu.

Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan sebagai  Nasib, tanpa pernah melempar dadu.
Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan  permainannya.
Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yang optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.