Rebut hari ini atau mati menyesali waktu kau hilang
Ini kosong dan dingin tanpa kau di sini, terlalu banyak orang sakit di atas
aku melihat visiku terbakar, aku merasa kenangan aku hilang oleh waktu
Tapi aku terlalu muda untuk khawatir
Jalan-jalan ini perjalanan kita akan mengalami masa lalu yang sama kami yang hilang
aku menemukan kau di sini, sekarang silahkan hanya tinggal untuk sementara waktu
Aku dapat melanjutkan dengan Anda sekitar
Aku tangan Anda kehidupan fana saya, tapi akan itu selamanya?
Aku akan melakukan apa saja untuk tersenyum, memegang Anda 'til waktu kita dilakukan
Kita berdua tahu hari akan datang, tapi aku tidak ingin meninggalkan AndaKehidupan baru lahir menggantikan semua dari kita, mengubah dongeng ini kita hidup di
Tidak lagi dibutuhkan di sini sehingga mana kita pergi?
Apakah Anda mengambil perjalanan malam ini, ikuti aku melewati dinding kematian?
Tapi gadis, bagaimana jika tidak ada kehidupan kekal?Rebut hari ini atau mati menyesali waktu Anda hilang
Ini kosong dan dingin tanpa kau di sini, terlalu banyak orang sakit di atas
Ujian dalam hidup, pertanyaan-pertanyaan dari kami yang ada di sini, tidak mau mati sendirian tanpa Anda di sini
Tolong beritahu saya apa yang kita miliki adalah nyata
Jadi, bagaimana jika aku tidak pernah memelukmu, yeah, atau mencium bibirmu lagi?
Woooaaah, jadi aku tidak pernah ingin meninggalkanmu dan kenangan dari kita untuk melihat
aku mohon jangan tinggalkan aku
MMCAMPUS
Selasa, 01 November 2011
Selasa, 04 Oktober 2011
ABG Ini Suka Makan Tanah dan Ubin

Sri Wahyuni (13), anak kedua pasangan suami istri Kayat dan Sumeh warga RT 18, RW 03, Dusun Bungarum, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, memiliki kebiasaan aneh.
Gadis yang semestinya duduk di bangku SMP ini, suka makan tanah dan ubin yang ada di sekitarnya. Kendati demikian, dia tak menunjukkan gejala-gejala sakit akibat makan benda yang tak layak dikonsumsi itu.
Menurut ibunya, Ny Sumeh kebiasaan buruk anaknya terjadi sejak usianya tujuh tahun. Awalnya dilakukan saat Sri berada di rumah sendirian. Namun, lama kelamaan Sri tak takut makan tanah atau ubin di depan banyak orang. Bahkan, rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu, lantainya yang disemen, terdapat belasan lubang, karena dimakan oleh Sri.
Biasanya Sri mulai mencongkeli lantai rumahnya untuk dimakan saat dia ditinggal pergi oleh orangtuanya untuk mencari rumput yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Kebiasaan Sri makan tanah seperti halnya orang normal makan nasi.
"Kalau makan tanahnya tidak sedikit-sedikit. Lumayan banyak karena cara makannya sama ketika anak minta makan nasi," terang Sumeh kepada Surya.
Lebih jauh Sumeh yang kini sudah menjanda ini, menjelaskan, anak keduanya itu awalnya sehat seperti anak-anak lainnya. Namun, sejak kena panas tinggi ketika masih berusia dua tahun, anaknya yang dulu bisa memanggil bapak dan ibu, mendadak tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Namun demikian, dia masih bisa memahami setiap pembicaraan orang.
Seiring dengan hal itu, kebiasaan buruk makan tanah muncul. "Maunya, saya menghentikan anak saya makan tanah. Tetapi, apa boleh buat, saya tak bisa karena tak memiliki cukup biaya," terang ibu yang bekerja sebagai buruh gembala kambing ini.
Kehidupan Sumeh memang sangat sederhana. Di rumah berdinding anyaman bambu yang penuh lubang, perempuan ini hidup bersama anak pertamanya Panji (21), dan Sri Wahyuni (13). Panji putus sekolah kelas empat SD. Setiap hari, Sumeh dan Panji selalu mencari rumput di hutan sebagai nafkah.
"Kerjanya hanya ke hutan, kadang menanam kacang-kacangan, kadang merumput untuk memberi makan tujuh kambing milik orang di belakang rumah," tuturnya.
Sumeh mengaku sudah ada yang menawari membantu mengobatkan Sri ke RSU Dr Soetomo Surabaya, namun dia keberatan. Alasannya, dia tak memiliki biaya untuk hidup selama perawatan anaknya di rumah sakit. Selain itu, dia juga kebingungan jika harus di rumah sakit, karena selama ini dia lebih mengenal hutan daripada kota.
Peta Kehidupan
Bayangkan anda saat berada di tengah samudera di atas sebuah speedboat. Lima puluh kilometer di depan anda adalah sebuah pulau, dan di pulau itu terdapat semua yang anda inginkan dan cita-citakan. Semua impian anda. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu semua adalah sampai ke pulau tersebut. Pulau itu ada di belakang cakrawala. Tapi cakrawala yang mana?
Masalahnya adalah anda tidak punya kompas, peta, radio, telepon, dan anda tidak tahu mana arah ke pulau tersebut.
Arah yang salah akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian, sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit. Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian. Tetapi bila anda salah arah, anda bisa kehabisan bahan bakar sebelum bisa mencapai pulau impian.
Arah yang salah akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian, sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit. Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian. Tetapi bila anda salah arah, anda bisa kehabisan bahan bakar sebelum bisa mencapai pulau impian.
Hidup tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti kegunaan hidup anda, adalah sama dengan dilema pulau impian. Semua impian anda sebenarnya bisa tercapai, namun untuk mencapainya anda harus mengetahui apa, di mana, dan bagaimana mencapainya.
Anda mutlak mengetahui arah untuk mencapainya, dan untuk itu anda memerlukan peta. Tentukan peta anda sekarang, untuk dapat mencapai impian anda. Buat seteliti dan seakurat mungkin, dan selanjutnya anda tinggal mengarahkan speedboat ke pulau impian anda
belajar dari filosofi jagung
Suatu ketika, seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik buah jagungnya, yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga di sekitar perkebunannya.
“Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?” tanya sang wartawan.“Tak tahukah anda?,” jawab petani itu.
“Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula.”
Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula.
Sungguh…nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang disentuhnya.
lempar Dadu_mu
Ular-Tangga, permainan semasa kita kecil, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.
Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama kuliah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan. Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur. Dan disitulah nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu.
Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu.
Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.
Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yang optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.
Selasa, 13 September 2011
Pejuang Kecil :)
ragil, gadis kecil yang tinggal di seberang rumah bertanya pada ibunya, "magrib masih berapa jam lagi bu?", sontak sang ibu tertawa sekaligus haru mendengar pertanyaan anak itu, karena sebenarnya waktu adzan magrib tinggal beberapa menit lagi, entah apa yang ada benak anak kecil itu. yang pasti anak sekecil itu telah melewati berjam-jam waktu tanpa makan dan minum seperti orang dewasa yang sudah memiliki kewajiban untuk berpuasa, sehingga meski waktu magrib tinggal beberapa menit lagi, ia membayangkan betapa waktu magrib masih terlalu lama, namun ia tetap bertahan, berjuang menahan lapar dan haus yang dirsakan hingga waktu magrib tima nanti.
putri ke dua ibu itu adalah Farah, Farah mempunyai cara tersendiri untuk menghilangkan rasa haus, tentu saja bukan dengan cara minum air baik terang-terangan maupun bersembunyi. setiap hari di bulan puasa ia begitu rajin mengamalkan salah satu yang di ajarkan yakni menjaga wudhu debgan alasan "menjaga wudhu", itulah ia jadi sering untuk ke kamar mandi untuk berwudhu, tentu saja sang ibu sangat terharu sekaligus tersenyum. senyum sendiri dengan ulahnya. beebrapa tahun lalu ketika pertama kali ia puasa satu hari penuh, kebiasaaanya ketika siang dan menjelang waktu ashar adalah waktu tidur di lantai dengan bertelanjang dada, ia menempelkan dada atau punggungnya di lantai yang dingin. itulah caranya berjuang menjaga puasanya hingga waktu magrib tiba.
anak sulungnya pun memiliki cara yang berbeda ketika awal menjalankan puasa penuh. ia senang mengumpulkan makanan untuk berbuka meski waktu berbuka masih lama. beberapa makanan sengaja ia masukan kedalam lemari es agar terasa segar pada saat berbuka puasa, hampir hampir setiap jam ia bertanya, "magrib masih berapa jam lagi?" autaupun "sekarang jam berapa?" karena ketika ia tahu ketika sudah jam 6 sore itu waktunya berbuka, waktu masih menunjukan waktu 4 sore, ia sudah mondar-mandir ke depan untuk melihat makanan yang sudah tersedia. kadang ia tak sabar untuk menyajikan sendiri makanan berbbukanya di meja, meski waktu masih lama ia terus mamandangi makananya, pergi keluar sebentar, kembali lagi kedapur untuk memandangi makananya, namun tidak sedikitpun ia memiliki keberanian untuk mencicipi makananya hingga waktu magrib tiba meski saat ia sendirian di dapur. ia tetap berjuang malawan keinginan-keinginan yamg tidak boleh di lakukan sebelum waktunya.
putri ke dua ibu itu adalah Farah, Farah mempunyai cara tersendiri untuk menghilangkan rasa haus, tentu saja bukan dengan cara minum air baik terang-terangan maupun bersembunyi. setiap hari di bulan puasa ia begitu rajin mengamalkan salah satu yang di ajarkan yakni menjaga wudhu debgan alasan "menjaga wudhu", itulah ia jadi sering untuk ke kamar mandi untuk berwudhu, tentu saja sang ibu sangat terharu sekaligus tersenyum. senyum sendiri dengan ulahnya. beebrapa tahun lalu ketika pertama kali ia puasa satu hari penuh, kebiasaaanya ketika siang dan menjelang waktu ashar adalah waktu tidur di lantai dengan bertelanjang dada, ia menempelkan dada atau punggungnya di lantai yang dingin. itulah caranya berjuang menjaga puasanya hingga waktu magrib tiba.
anak sulungnya pun memiliki cara yang berbeda ketika awal menjalankan puasa penuh. ia senang mengumpulkan makanan untuk berbuka meski waktu berbuka masih lama. beberapa makanan sengaja ia masukan kedalam lemari es agar terasa segar pada saat berbuka puasa, hampir hampir setiap jam ia bertanya, "magrib masih berapa jam lagi?" autaupun "sekarang jam berapa?" karena ketika ia tahu ketika sudah jam 6 sore itu waktunya berbuka, waktu masih menunjukan waktu 4 sore, ia sudah mondar-mandir ke depan untuk melihat makanan yang sudah tersedia. kadang ia tak sabar untuk menyajikan sendiri makanan berbbukanya di meja, meski waktu masih lama ia terus mamandangi makananya, pergi keluar sebentar, kembali lagi kedapur untuk memandangi makananya, namun tidak sedikitpun ia memiliki keberanian untuk mencicipi makananya hingga waktu magrib tiba meski saat ia sendirian di dapur. ia tetap berjuang malawan keinginan-keinginan yamg tidak boleh di lakukan sebelum waktunya.
Langganan:
Postingan (Atom)